Kehidupan Dalam Kemajuan Informasi


Awalnya teknologi komunikasi dan informasi hanya untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya, teknologi informasi telah membantu komunikasi yang lebih murah, lebih cepat, dan lebih efisien. Tetapi seiring kemajuannya, terjadilah pengalihan fungsi teknologi, Sehingga manusia mulai terjebak pada dunia virtual dan terbuai dengan segala bentuknya sampai kehilangan rasionalitasnya.

Banyak orang bekerja siang dan malam untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Para kapitalis mereproduksi berbagai bentuk dan fitur-fitur canggih lewat iklan dan memanipulasi kebutuhan sebenarnya. Iklan-iklan yang ada diberbagai media seperti televisi dan media sosial tak ubahnya seperti opium yang mengandung kekuatan dan candu untuk menarik banyak orang membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkan atau bahkan tidak dibutuhkan sama sekali.

Akibatnya banyak orang mulai gandrung dengan merk-merk bergengsi dengan membeli jenis barang yang sama tapi dengan harga yang berkali lipat lebih tinggi padahal hanya karena berbeda merk dan karena gengsi belaka. Kini manusia telah terjebak dalam eksistensi semu yang siap membuatnya pusing kepala setiap ada produk baru hadir dan lounching, ia mulai mencari harga cash atau creditnya, berapa harga miliknya yang lama? Kurang berapa jika dibelikan lagi produk yang baru?.

Banyak orang rela menghabiskan waktu sampai belasan jam untuk duduk di depan layar televisi, monitor computer, laptop atau layar hp hanya untuk bermain game online atau hanya sekedar bermain-main, juga banyak orang seperti terjebak dalam eksistensi semu pada berbagai media social yang kini telah berkembang dan menawarkan fitur yang berbeda-beda seiring dengan kemajuan zaman. Namun, kemajuan tersebut justru menambah rentetan keanehan yang muncul pada kehidupan masyarakat kontemporer.

Kini, muncul manusia-manusia yang haus akan eksistensi. Ada orang yang merasa gatal jika sehari saja tidak mengunggah swafoto atau foto selfinya di Instagram, ada juga yang merasa harinya kurang lengkap jika tidak membuat status di Facebook. Bahkan yang lebih absurd, kini orang-orang ada yang sampai malas untuk mandi dan makan jika belum mengunggah suatu informasi kapan ia bangun dan tidur pada media sosial Whatsapp atau Path.

Kalau kata Jean Baudrillard, seorang sosiolog berkebangsaan Perancis dalam bukunya Simulacra and Simultion, ini adalah fenomena hyper-reality, adalah ketidakmampuan kesadaran manusia membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya dalam kehidupan berteknologi tinggi. Definisi singkat lain tentang hiperealitas adalah 'Nyata tanpa kenyataan (Jean Baudrillard)', 'Palsu yang otentik (Umberto Eco)', dan 'Ketidaknyataan virtual (Pater Sparrow)1.

Tentu semua media sosial memiliki sisi baik dan buruk. Tetapi, tetap saja media sosial merupakan sebuah media yang memperlihatkan kekonyolan-kekonyolan yang tiada henti. Sekarang kita harus mulai sadar bahwa kini kita sedang berada di kenyataan yang mana? Kenyataan yang nyata atau hanya kenyataan semu, dan mulai melihat ke dunia yang lebih nyata dibanding dunia yang terlihat nyata.

Dunia kita sekarang ini, memudahkan kita mencari, mendapatkan dan membagikan informasi, bahkan dengan sistem informasi yang serbacepat ini, kita banyak mendapatkan informasi baik dari TV, gadget, internet, koran dan lain-lain, sehingga jumlah informasi melimpah ruah dan menghasilkan limbah dan sampah-sampah informasi yang tak ada makna, yang tentunya kalau tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan virus-virus informasi yang siap mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

1. Lihat Kita dan Hiperrealitas, https://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/5580f242e022bd6c310e 7751/kita-dan-hiperealitas

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak