Meluruskan Pemahaman Salah Tentang Shalat Terawih


Shalat Terawih merupakan salah satu syi’ar dibulan Ramadlan yang penuh berkah, keagungan dan keutamaan disisi Allah swt. Hukum melaksanakannya adalah sunnah Muakad bagi kaum laki-laki dan kaum hawa (perempuan), karena Terawih telah dianjurkan beliau Nabi Muhammad saw kepada ummatnya. Sebagaimana termaktub dalam Hadist Nabi:

 عن أَبي هريرة رضي الله عنه أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيماناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (متفقٌ عَلَيْهِ) 

Artinya: Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat Terawih) di bulan Ramadlan karena iman dan mengharapkan ridlo dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud kata “Qoma Ramadlan” dalam hadist di atas adalah melaksanakan ibadah untuk menghidupkan malamnya bulan Ramadlan dengan cara melaksanakan shalat Terawih, dzikir, membaca al-Qur’an dan ibadah-ibadah sunnah lainnya sebagaimana yang dianjurkan beliau Nabi saw. Dan orang-orang yang melakukannya dengan didasari iman dan mengharapkan keridlo’an Allah, maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lewat. (Dalilul Falihin lithariqi Riyadussholihin, juz 7, halaman 10).

Shalat Terawih pertama kali dikerjakan Nabi SAW pada tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyyah, namun pada saat itu beliau Nabi mengerjakannya tidak melulu di masjid. Sebagaimana disebutkan dalam Hadist Aisyah:

أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ، وَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ، وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلَاتِهِ فِيهَا، وَتَكَاثَرُوا فَلَمْ يَخْرُجْ لَهُمْ فِي الرَّابِعَةِ، وَقَالَ لَهُمْ صَبِيحَتَهَا: خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا. (رَوَاه الْبَيْهَقِيُّ) 

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada beberapa malam dari bulan Romadlon, beliau mengerjakan sholat di masjid. Orang-orang sholat mengikuti beliau. Kemudian pada hari ke empat, orang-orang bertambah ramai (banyak), tetapi Nabi tidak keluar kepada mereka. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda kepada mereka: “aku takut kalau sholat malam ini diwajibkan atas kalian, terus kalian tidak mampu (mengerjakannya)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tentang berapa jumlah rokaat sholat Terawih ini, para ulama berbeda pendapat. Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: "Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini. " Imam al-`Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka`at shalat Terawih. (Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari),

Berkata Yazid bin Ruman: "Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan ramadhan (shalat Terawih) dengan 23 rakaat " (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak berjamaah. (H.R. Baihaqy).

Berkata Atho':"Aku jumpai mereka (para sahabat) mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir". (H.R. Muhammad bin Nashir).

Berkata Daud bin Qais: "Aku jumpai orang-orang di zaman Abas bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat Terawih 36 rakaat, shalat witir 3 rakaat ". (H.R. Muhammad bin Nashir).

Imam Malik menjelaskan, penduduk madinah melakukan sholat terawih 39 rokaat, penduduk Makkah 23 rokaat. Al- Tirmidzi menjelaskan: "bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat dengan witir". (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152).

Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat Terawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Jumhur (mayoritas) ulama juga menetapkan jumlah shalat Terawih seperti itu, demikian juga al-Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi'i. Sedangkan Imam Malik menetapkan bilangan shalat Terawih sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Taimiyah berkata: "Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah ."Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama. Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat. Namun ada juga beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Terawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain. Ibnu Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, al-Mizan al-`Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, al-Mausu`ah al-Yusufiyah, Qurrah al-`Ain bi Fatawa Ulama` al-Haramain, Mu`assasah al-Nida`, al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah,).

Perbedaan ini muncul karena di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Terawih itu selama tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam keempatnya, beliau ditunggu-tunggu banyak orang, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, tidak ada yang melakukan shalat Terawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid. Baru ketika pada masa kholifah Umar bin Khottob, sholat terawih dilakukan dengan cara berjama’ah, Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Malik dari Abdurrahman bin Abd Qadri :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِي اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ اِلَى الْمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعَ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى اُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً اُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَت الْبِدْعَةُ هذه ... 

"Abdurrahman bin Abd al-Qadri menceritakan, "aku keluar bersama Umar pada suatu malam di bulan Ramadlan ke Masjid, Beliau menjumpai banyak orang dalam beberapa kelompok; ada yang sedang melaksanakan shalat sendirian dan ada yang diikuti beberapa orang. Melihat hal itu Umar barkata: "aku berfikir lebih baik aku mengumpulkam mereka dengan satu orang Imam. Setelah itu Beliau memerintahkan Ubay bin Ka'ab r.a, supaya menjadi imam bagi mereka. Pada malam berikutnya aku keluar bersama Umar lagi dan ia melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan cara berjama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab r.a, (memperhatikan kegiatan shalat itu), Umar berkata: "inilah sebaik-baik bid'ah". (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1817 dan Malik:231).

Hanya saja Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Terawih yang paling afdlal adalah dua puluh (20) rakaat. Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.

Pertama Hadist Imam Malik dari Sahabat Yasid bin Rumman, di dalam kitab beliau "al-Muwattho'",.

عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُمَّانَ اَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِىْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِثَلَاثِ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.( رواه الامام مالك فى الموطأ) 

“Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan : Orang-orang mengerjakan (salat Terawih) pada zaman Umar bin Khathbab sebanyak 23 rakaat”. (HR Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha, Juz I hlm. 138).

Kedua, Hadist riwayat al-Baihaqi dari sahabat saib bin Yazid dalam kitab Al-Hawy li Al Fatawa li As Suyuthy, Juz I hlm. 350, juga kitab fath al-wahhab Juz I, hlm. 58.

وَمَذْهَبُنَا اَنَّ التَّرَاوِيْحَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً لِمَا رَوَى اْلبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ باِلْاِسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ للهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نَقُوْمُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ هَكَذَا ذَكَرَهُ اْلمُصَنِّفِ وَاسْتُدِلَّ بِهِ.

Madzbab kita (Syafi’iyah) menyatakan : salat Taawih itu dijalankan 20 rakaat. Ini berdasarkan pada hadist nabi yang diriwayatkan Imam Baihaqi dengan sanad shabih, dari Saib bin Yasid, ia mengatakan : kita mengerjakan salat Terawih pada masa Umar bin Khathhab dengan 20 akaat ditambah Witir.

Ketiga, pendapat Jumhur fiqih yang terdapat dalam kitab fiqih as-Sunah, Juz II. Hlm. 45

وَصَحَّ النَّاسُ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً. وَهُوَ رَأْىُ الْجُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ. 

Betul bahwa kaum muslimin mengerjakan salat pada zaman Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan ini pendapat sebagian mayoritas pakar-pakar hokum Islam.

Keempat, dalam kitab Taudbib al-Adillah, Juz III, hlm. 171.

عَنْ اِبْنِ عَبَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِىْ غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ.(رواه البيهقى والطبرنى عن عبد بن حمد.) 

Ibnu Abbas mengatakan : Rasul salat di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah Witir (HR Baihaqi dan Thabrani, dari Abd bin Humaid).

Tetapi Sebagian ulama ada yang berpendapat bilangan rokaat shalat Terawih adalah delapan rakaat lebih afdlal. Bahkan Muhammad Nashiruddin al-Albani berpendapat bahwa shalat Terawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat. Mereka menggunakan Hadits A`isyah tentang shalat Witir untuk membenarkan pendapatnya, yaitu :

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً 

"Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat." (Muttafaq `alaih).

Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini menjadi dalil shalat Terawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.

Orang-orang yang menggunakan hadis ini sebagai dalil dari bilangan rokaat shalat Terawih, berarti cara memahaminya tidak utuh. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رضي الله عنها: كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي (البخاري في صحيحه ج1/ص385 ح1096) 

Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia bercerita, bahwa ia pernah bertanya kepada A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : "Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?" Beliau menjawab : "Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur." 

Mengutip pendapat Ibnu Hajar A-Haitami, Beliu meengatakan bahwa hadist tersebut bukanlah dalil untuk bilangan rokaat shalat Terawih, melainkan dalil bilangan maksimalnya rokaat shalat witir. Sebab berdasarkan kebanyakan riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat witir dan bilangan maksimalnya adalah sebelas rakaat. Dalam Kitab Kasyfu At-tabarih dikatakan,

وَلمَاَّ كَانَتْ تِلْكَ اْلَاحَادِيْثُ مُتَعَارِضَةٌ وَمُحْتَلِمَةٌ لِلتَّأْوِيْلِ لَمْ تَقُمْ بِهَا الْحُجَّةُ فِى اِثْبَاتِ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْحِ لِتَسَاقُطِهَا فَعَدَّ لْنَا عَنِ اسْتِدْلَالِ بِهَا اِلَى الدَّلِيْلِ اْلقَاطِعِ وَهُوَ اْلاِجْمَاعُ وَهُوَ اِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى زَمَنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى فِعْلِهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً رَوَاهُ الْبَيْهَقِى بإسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرُ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً اھ (كشف التباريح ص ١٣). 

“Karena dalil-dalil tentang bilangan shalat rakaat shalat Terawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan rakaat shalat Terawih karena dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan, maka dari itu kami tidak mengambil dalil dari hadist-hadist tersebut melainkan menggunakan dalil yang Qoth’I yaitu ijma’ kebanyakan orang islam dizaman Sayyidina Umar RA yang melaksanakan shalat Terawih 20 rakaat berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dari sahabat As-saib bin Yazid RA dengan isnad yang shahih, saib mengatakan : Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan shalat Terawih 20 rakaat pada bulan Ramadan di zaman Khalifah Umar RA”.  Lebih lanjut dalam kitab Kasyfu at-tabarih dikatakan.

وَاِذَا كَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ عَلِمْنَا اَنَّ الَّذِيْنَ صَلُّوْا التَّرَاوِيْحَ الْيَوْمَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ مُخَلِّفُوْنَ لِلْاِجْمَاعِ اِنْ كَانَ فِى اَمْرٍ مَعْلُوْمٍ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَّرُوْرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ وَاِلَّا فَهُوَ فَاسِقٌ وَهُمْ مُخَالِفُوْا أَيْضًا لِسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَمَنْ خَالَفَ سُنَّةَ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ غَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَنَّهُ قَالَ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه ابو داود والترميذي) اھ . (كشف التباريح ص ١٤) 

“Dan jika permasalahannya seperti itu (dalil yang Qot’I adalah dalil ijma yang membenarkan bilangan rakaat Terawih 20 rakaat) maka dapat kita ketaahui bahwa mereka yang melaksanakan shalat Terawih 8 rakaat adalah bertentangan dengan ijma dan orang yang mengingkari ijma tentang permasalahan yang sudah pasti dalam agama adalah kafir atau fasik dan mereka juga bertentangan dengan sunah khulafaur Rosyiidin dan orang yang bertentangan dengan khulafaur Roysidin Juga bertentangan dengan Nabi SAW, karena beliau telah bersabda “Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan sunahku dan dengan sunah Khulafaur Rosyidin yang memberi petunjuk sesudahku (HR. Abu Daud dan At-tirmidi)

Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Terawih. Karena shalat Terawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Terawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.

Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha .

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوِتْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ(هَذَا حَدِيثٌ مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ) (شرح السنة المؤلف : البغوي).

Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : "Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, 11 rokaat shalat Witir dan dua rakaat sholat sunah Fajar." (HR. Muslim).

Demikian, mudah-mudahan apa yang tertulis disini bermanfaat dan dapat menjadi pemicu semangat dalam menjalankan ibadah-ibadah di bulan ramadlan. Amin.

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak