Tenyata Begini Hukum Berbohong Menurut Ahli Fiqih


Para pakar fiqih menetapkan bahwa berbohong hukum asalnya adalah haram, tetapi pada kasus-kasus tertentu berbohong itu diperbolehkan, seperti di dalam medan perang, untuk keharmonisan suami dan istri, dan dalamrangka mendamaikan orang yang sedang bertikai (ishlah).

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ، يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا، وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ، وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ. وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ "لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ". قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ. 

Artinya: Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal, (yaitu), suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”. Mahmud berkata dalam haditsnya: “Tidak boleh berbohong kecuali dalam tiga hal”. Abu ‘Isa (At Tirmidzi) berkata, ‘Ini hadits hasan, kami tidak mengetahuinya dari hadits Asma’ kecuali dari hadits Ibnu Khutsaim’. [Sunan At Tirmidzi (2064) 7/408, Maktabah Asy Syamilah

رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) - (ج 1 / ص 180). وعن أمِّ كُلْثُوم بنت عُقْبَة بن أَبي مُعَيط رضي الله عنها قَالَتْ: سمِعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم، يَقُولُ: لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيراً، أَوْ يقُولُ خَيْراً. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. وفي رواية مسلم زيادة، قَالَتْ: وَلَمْ أسْمَعْهُ يُرْخِّصُ في شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إلاَّ في ثَلاثٍ، تَعْنِي: الحَرْبَ، وَالإِصْلاَحَ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَحَدِيثَ المَرْأةِ زَوْجَهَا. 

Artinya: Dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Muaith ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. [Muttafaqun 'Alaih]. Di dalam riwayat Muslim ada penambahan, Ummu Kulstsum berkata, “Dan aku tidak mendengar bahwa beliau memberikan keringanan pada dusta dari omongan manusia kecuali pada tiga hal, Ummu Kultsum menghendaki, dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya”.

Ada beberapa prinsip dasar dalam pembahasan rukhsah dalam berbohong berkaitan dengan tujuan atau hajat yang baik dan penting menurut syara’:
  • Tujuan terpuji ketika bisa dicapai baik dengan jujur maupun berbohong, maka memilih jalur bohong adalah haram.
  • Tujuan terpuji ketika hanya bisa dicapai dengan berbohong, maka berbohong hukumnya mubah pada tujuan yang mubah, dan wajib pada tujuan yang wajib.
  • Ketika bersikap jujur efek negatifnya lebih besar daripada efek negatif yang ditimbulkan dengan berbohong, maka boleh berbohong.
  • Ketika bersikap jujur tidak terlalu berimbas negatif (ada efek negatif tetapi masih lebih ringan dibandingkan dengan tujuan dari kejujuran itu sendiri), maka wajib jujur.
  • Ketika efek negatif dan positifnya masih diragukan, apakah lebih banyak atau lebih sedikit maka ditekankan bersikap jujur.
  • Ketika tujuan baiknya sendiri masih diragukan, penting dan tidaknya, maka wajib bersikap jujur.
Namun karena rumit dan kompleknya persoalan rukhshoh dalam berbohong ini, perbandingan hajat baik yang penting dan tidak begitu penting atau masih diragukan pentingnya, maka seharunya seseorang sekuat mungkin menjaga diri dari kebohongan. Seperti disebutkan dalam kitab Ihya Ulumiddin berikut ini :

إحياء علوم الدين (ج3 ص137- 138). فنقول الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعا فالكذب فيه حرام وإن أمكن التوصل إليه بالكذب دون الصدق فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك القصد مباحا وواجب إن كان المقصود واجبا... - إلى أن قال - فإذا علم أن المحذور الذي يحصل بالصدق أشد وقعا في الشرع من الكذب فله الكذب وإن كان ذلك المقصود أهون من مقصود الصدق فيجب الصدق وقد يتقابل الأمران بحيث يتردد فيهما وعند ذلك الميل إلى الصدق أولى لأن الكذب يباح لضرورة أو حاجة مهمة فإن شك في كون الحاجة مهمة فالأصل التحريم فيرجع إليه ولأجل غموض إدراك مراتب المقاصد ينبغي أن يحترز الإنسان من الكذب ما أمكنه. 

“Kami katakan, ucapan adalah perantara mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang memungkinkan dicapai dengan jujur dan dusta maka hukum berdusta adalah haram. Ketika kemungkinannya dicapai hanya dengan jalan berdusta bukan dengan jujur maka berdusta adalah mubah pada tujuan yang mubah, dan wajib pada tujuan yang wajib. Ketika telah diketahui bahwa efek negatif syar’i yang timbul dengan sikap jujur lebih banyak daripada dusta maka boleh baginya berdusta. Bila perkara yang dikehendaki lebih remeh daripada tujuan bersikap jujur (yang berefek negatif) maka wajib untuk tetap jujur. Bila keduanya sebanding yakni ketika bimbang di antara dua hal tadi (remehnya tujuan dan efek negatif bersikap jujur) maka kecenderungan bersikap jujur adalah lebih utama, sebab dusta hanya diperbolehkan karena dharurat ataupun hajat yang penting. Bila ragu apakah tujuan perkaranya termasuk hajat yang penting maka hukum asal adalah haram berdusta. Kembalikanlah pada hukum asal tersebut, dan karena memandang rumitnya menemukan derajat dari tujuan-tujuan itu, sehingga lebih baik bagi seorang manusia agar menjaga diri dari sikap dusta sebisa mungkin.”

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak