Back to kampung. Santri dan Guru Mulia, Siapa Sejatinya?


Secara gampang santri itu orang yang ngaji kepada seorang kiyai atau ustadz yang mempunyai sanad keilmuan sampai Rasulullah SAW. Kata “ngaji” (bhs. Jawa) yang dimaksud adalah belajar ilmu agama. Artinya istilah ngaji oleh orang jawa hanya digunakan dalam hal-ihwal mempelajari ilmu agama, bukan ngaji Cyber, ngaji IT, ngaji Desine Grafis, ngaji Budaya, ngaji Wira Usaha dan lain-lain. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah arti harfiyahnya, yaitu “belajar”, ya, monggo-monggo saja. Karena secara harfiyah ngaji adalah belajar.

Definisi santri di atas tidak membatasi, apakah dia pernah mondok atau tidak, seberapa lama dia mengaji, atau seberapa intens dia mengaji di depan kiyai atau ustadz. Sebagaimana keumuman pemahaman dari kata KH. Musthofa Bisri, tentang istilah santri. Menurut beliau, “Santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlaq seperti santri, dialah santri”.

Jadi, inti pokoknya adalah “Berakhlaq seperti santri”. Santri seharusnya taat kepada tuhannya, santri seharusnya nurut kiyainya, santri seharusnya menghormati kedua orang tuanya, santri seharusnya memulyakan ahlil ilmi, santri harusnya lebih condong kepada urusan agama dibanding dengan urusan-urusan tetek mbengek lainnya, santri harus bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat lingkungannya. Santri juga dituntut harus jujur, adil, dan bijaksana.

Keharusan-keharusan di atas bisa dijalani oleh santri secara normal dalam kehidupannya, tidak berlebihan, apalagi sampai terkesan memaksakan diri, “laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa”.

Sedangkan Guru Mulia adalah seorang guru yang mengenalkan kepada kita tentang siapa tuhan kita “laulal murobbi maa ‘aroftu robbiy”. Guru seperti inilah yang seharusnya lebih dihormati, lebih dimuliakan dan diidolakan. Tidak memandang status sosialnya, keturunannya, keren tidaknya, kaya atau fekirnya, atau gengsinya.

Mungkin guru-guru itu adalah kiyai-kiyai atau ustadz-ustadz di kampung-kampung kita, yang sebenarnya merekalah yang pertama kali mengenalkan siapa itu tuhan kita, bahkan mungkin orang tua kita, sesungguhnya adalah juga “guru mulia” yang memperkenalkan kita terhadap siapa yang harus disembah.

Ibarat kacang lupa kulitnya, seorang pandai yang melupakan jasa guru-gurunya di kampung, dia bisa “aa baa taa” dari mereka, tahu “ini ibu budi” juga dari mereka. Mereka adalah peletak pondasi keilmuan dan keimanan. Kadang seseorang lebih melihat gemerlap masyhuriyah pada seorang tokoh ustadz atau kiyai, kemudian mengidolakan. Ujungnya apapun kata idolanya, itulah kebenaran, sehingga apapun yang tidak sama dengan pendapat idolanya itu, maka ia mengecamnya habis-habisan, tanpa menelaah mendalam terlebih dahulu tentang kebenaran yang sesungguhnya.

Seorang santri, atau santri yang sekarang menjadi kiyai atau ustadz harus lebih bijak dalam memahami ini semua. GuRuMu kala kecilmu, gurumu yang mengajarkan “qulhu”, gurumu yang mengajarkan membaca alqur’an sehingga sekarang engkau bisa mengetahui sedikit atau banyak isi kandungannya, gurumu yang mengajarimu sholat dan bacaan-bacaannya. Merekalah hakekat GURU MULIAmu. Waallohu a’lam.

Tulisan ini hanyalah tela’ah diri sendiri, untuk diri sendiri. Jika pembaca cocok dengan telaah ini, monggo, jika tidak, juga monggo.

#islamiro.com
#SekaliSantriTetapSantri

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak