Hadits 5 Bahaya Bid'ah


عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-mengada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.

Dalam menyikapi hadits ini, golongan ahlussunnah wal jama’ah (baca “NU”) sangat berhati-hati dan tidak gegabah menilai bahwa semua hal baru yang dilakukan oleh umat islam berarti bid’ah. Karena menuduh bid’ah berarti menuduh sesat dan setiap kesesatan akan berujung di neraka. Artinya ketika menjudge seorang muslim melakukan bid’ah, berarti telah menghukumi saudara muslim sebagai orang yang sesat yang akan berujung di dalam neraka. 

Di bawah ini adalah pengertian dan pembagian bid’ah menurut para Ulama’ dari kalangan madzhab Syafi’I :

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafii, mujtahid agung pendiri madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah di dunia Islam, berkata: “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Quran, Sunnah, mau pun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafii juz 1/ 469). 

Imam ar-Rabi bin Sulaiman, periwayat ilmu Imam Syafii termasuk salah satu yang meriwayatkan ucapan Imam Syafii : “Perkara baru yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid’ah itu adalah sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid’ah tercela.” [ Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.] 

Imam Mujtahid, Izzuddin bin Abdis Salam mempelopori pembagian bid’ah menjadi lima. Dalam hal ini beliau mengatakan: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaidah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaidah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaidah mubah, maka bid’ah mubahah. 

  1. Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Contoh kedua, pembahasan mengenai jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
  2. Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
  3. Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang tidak pernah dikenal pada abad pertama, dan diantaranya shalat Tarawih (berjamaah dalam satu imam).
  4. Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
  5. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai songkok thaylasan, memperlebar lengan baju dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)

Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits. 

Imam Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi juga membagi bid’ah secara umum kepada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bidah, beliau mengatakan: “Bid’ah –dengan mengkasroh huruf ba– menurut syariat adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” (Tahdzibul Asma wa al Lughat 3/298 ) 

Imam al hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, Ahli hadits dan ahli fiqih bermadzhab Syafii. Secara umum beliau membagi bid’ah menjadi dua, dan secara rinci beliau membaginya menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fathul Bari, beliau mengatakan: “Segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi SAW dinamakan bidah. Akan tetapi sebagian bid’ah itu ada yang baik dan sebagian lagi ada yang sebaliknya (buruk).” (Fath al Bari 4/318). 

Sebenarnya masih banyak lagi para ashabus syafii yang membicarakan tentang bid’ah dan pembagiannya. Intinya mereka menganggap bahwa tidak semua hal baru yang tidak ada atau yang tidak dilakukan Rasulullah berarti bid’ah dlolalah yang mengancam pelakunya masuk ke dalam neraka. Semoga bermanfaat.

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak