Sarung dan Identitas Nasionalisme Warga NU

Sarung adalah sepotong kain lebar melingkar yang berjahit tengah, bagian atasnya dililitkan pada pinggang, sedangkan bagian bawahnya dibiarkan menjulur menutup bagian bawah tubuh yaitu dari pinggang ke bawah. Penggunaan sarung ini telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.


Menurut catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman. Sarung awalnya digunakan suku badui yang tinggal di Yaman. Sarung dari Yaman itu berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yaitu bahan pewarna yang berwarna hitam.

Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat. Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam. Sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi dan seakan-akan menjadi ciri khas masyarakat muslim di Indonesia. Walau sesungguhnya pemakain sarung tak menunjuk pada identitas agama tertentu. Karena sarung juga digunakan oleh berbagai kalangan di berbagai suku yang ada.

Barang kali ada beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah dipakai dan simpel. Selain itu ukurannya yang panjang mudah untuk menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak menunjukkan lekuk tubuh pemakainya, juga karena adanya sejumlah bukti sejarah menunjukkan bahwa para aktivis kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri selalu menggunakan sarung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun ibadah.

KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang tokoh pendiri Nahdhatul Ulama, hingga wafat, beliau tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah

Pernah suatu ketika, KH Abdul Wahab Hasbullah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, beliau datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Mungkin karena itulah, akhirnya sarung seperti menjadi identitas kiyai dan santri, menjadi simbol perlawanan terhadap budaya kaum kolonialis Belanda. Dan berkat perjuangan berat kaum pesantren (baca; kaum Nahdliyyin) membuahkan hasil yang tidak hanya sebuah kemerdekaan, tetapi akhirnya sarung juga menjadi warisan budaya dan identitas nasonalisme. Bahkan saat ini, sarung menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk berbagai macam upacara sakral di tanah air. (di sarikan dari berbagai sumber).

islamiro

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak